www.teropongpublik.id – Pernikahan anak di Indonesia menjadi isu yang semakin mendapat perhatian, terutama dalam konteks penurunan jumlah pernikahan di bawah usia 19 tahun. Data menunjukkan bahwa jumlah pasangan yang menikah di kelompok usia ini mengalami penurunan yang signifikan dalam tiga tahun terakhir, mencerminkan perubahan sosial yang positif.
Menurut catatan resmi, angka pernikahan anak turun dari 8.804 pasangan pada 2022 menjadi 5.489 pasangan pada tahun berikutnya, dan terus merosot menjadi 4.150 pasangan pada tahun 2024. Penurunan ini menandakan adanya keberhasilan berbagai program yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menunda pernikahan.
Program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS) yang dicanangkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) berperan vital dalam menurunkan angka ini. Program ini ditujukan kepada remaja di sekolah menengah untuk memberikan edukasi tentang pernikahan, kesehatan reproduksi, dan ketahanan keluarga yang seimbang.
Peran Program BRUS dalam Menurunkan Angka Perkawinan Anak
Program BRUS mengedepankan pendidikan langsung di sekolah dan madrasah dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk Kantor Urusan Agama (KUA) dan penyuluh agama. Materi yang diajarkan meliputi bahaya perkawinan dini, nilai-nilai karakter, dan aspek kesehatan yang harus dipahami remaja sebelum menikah.
Kesadaran masyarakat juga berperan penting dalam keberhasilan program ini. Masyarakat kini semakin memahami dampak negatif dari perkawinan anak, seperti risiko perceraian dini, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan masalah kesehatan anak yang dapat muncul akibat pernikahan dini.
“Strategi edukatif terbukti lebih berhasil daripada pendekatan yang bersifat represif. Namun, kami tetap memerlukan dukungan dari berbagai lapisan seperti sekolah, orang tua, dan tokoh masyarakat,” ungkap Abu Rokhmad, Dirjen Bimas Islam Kemenag, dalam sebuah konferensi.
Pentingnya Dukungan dari Berbagai Pihak
Keberhasilan program BRUS tidak lepas dari dukungan yang luas dari masyarakat. Kemenag berfungsi sebagai penggerak utama, tetapi kontribusi orang tua dan komunitas juga sangat penting untuk memperkuat pesan yang disampaikan dalam program ini. Dengan semakin banyaknya kolaborasi, diharapkan kesadaran tentang bahaya menikah dini akan semakin meluas.
“Program ini bukan hanya untuk statistik, tetapi juga untuk menciptakan generasi muda yang lebih berkualitas. Mencegah pernikahan anak adalah langkah penting untuk memberikan masa depan yang lebih baik,” lanjut Abu Rokhmad.
Berbagai kampanye sosialisasi juga dilakukan untuk mencapai target ini. Melalui seminar, diskusi, dan kegiatan lain yang melibatkan remaja, Kemenag berharap bisa memperkuat literasi tentang pernikahan sehat di kalangan generasi muda.
Literasi Keluarga dan Remaja sebagai Upaya Jangka Panjang
Kemenag kini memfokuskan upayanya untuk memperkuat literasi di kalangan remaja dan keluarga. Melalui program BRUS, harapannya adalah menciptakan suasana yang kondusif bagi perkembangan mental dan emosional anak-anak. Dengan literasi yang baik, remaja akan lebih siap menghadapi tantangan kehidupan, termasuk masalah pernikahan.
“Literasi ini sangat penting, bukan hanya di sekolah, tetapi juga di rumah. Orang tua dan masyarakat berperan sebagai pendidik yang mendampingi remaja,” kata Abu Rokhmad dalam penjelasannya. Dengan pendekatan yang lebih menyeluruh, diharapkan program ini dapat memberikan dampak yang signifikan dalam jangka panjang.
Pendidikan yang inklusif dan mendalam tentang pernikahan sehat serve to create awareness, sehingga remaja lebih mampu membuat keputusan yang bijak. Dalam konteks ini, Kemenag menempatkan dirinya sebagai fasilitator yang akan mendampingi proses pendidikan tersebut demi terciptanya keluarga yang berkualitas dan berpotensi meminimalisir perkawinan anak.