www.teropongpublik.id – Jakarta menjadi sorotan tajam terkait maraknya praktik curang dan pungutan liar dalam proses Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun Ajaran 2025-2026. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayanti, mendesak agar tindakan tegas diambil oleh pemerintah untuk menangani pelanggaran dalam penerimaan siswa baru ini.
Esti menekankan bahwa perlu ada ketegasan dalam menyikapi kecurangan yang muncul. Pejabat publik harus memberikan teladan yang baik, hindari praktik ilegal seperti menjual kursi atau meminta bagian untuk keluarga dan kerabat.
Proses SPMB diperkenalkan untuk menggantikan sistem PPDB yang sebelumnya lebih fokus pada zonasi, kini memperhatikan faktor domisili, prestasi, dan afirmasi. Namun, perubahan ini justru memunculkan lebih banyak masalah dalam pelaksanaannya.
Masalah Manipulasi Data Domisili dan Praktik Pungli Yang Mencuat
Protes dari para orangtua murid semakin marak, terutama bagi mereka yang anaknya gagal diterima di sekolah negeri favorit meski berdomisili dekat. Ironisnya, anak-anak yang tinggal jauh dari sekolah tersebut seringkali berhasil lolos seleksi.
Dugaan manipulasi data domisili mencuat kembali, dengan modus seperti pemindahan alamat mendalam dan pemalsuan dokumen keluarga. Kasus-kasus ini terdeteksi di beberapa kota besar, termasuk Jakarta dan Surabaya.
Lebih mengkhawatirkan, laporan mengenai pungutan liar juga kembali muncul dari berbagai daerah. Dari hasil investigasi, ditemukan indikasi jual beli kursi di sekolah-sekolah negeri dengan besaran pungli antara Rp 5–8 juta per kursi.
Esti mengungkapkan bahwa tindakan tegas harus dilakukan untuk menyoroti pendidikan sebagai hak setiap anak, bukan ajang spekulasi yang merugikan mereka. Pendidikan seharusnya menjamin masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Ombudsman RI mencatat lebih dari 100 laporan mengenai dugaan pungli dalam SPMB, termasuk yang menyamar sebagai sumbangan komite sekolah. Hal ini menunjukkan adanya masalah sistemik yang perlu segera ditangani.
Evaluasi dan Transparansi dalam Sistem SPMB
Dalam penjelasannya, Esti menggarisbawahi bahwa sistem SPMB seharusnya merupakan hasil evaluasi dari PPDB yang cacat dan memerlukan perbaikan. Namun, banyak pihak merasakan bahwa implementasi di lapangan belum berjalan dengan baik.
Sistem ini telah dikaji selama beberapa tahun, sehingga diharapkan kualitas pelaksanaan dapat meningkat jika semua pihak terlibat secara jujur. Namun, kenyataannya, hambatan teknis masih menjadi masalah yang belum terpecahkan.
Kendala teknis seperti kurangnya infrastruktur teknologi dan pemahaman masyarakat terhadap sistem baru sangat menghambat. Gangguan pada server dan sistem yang tidak ramah pengguna menyebabkan ketidakpuasan di kalangan orangtua siswa.
Banyak orangtua yang kesulitan dalam mengakses dan memahami informasi yang diberikan, apalagi bagi mereka yang tidak terlalu akrab dengan teknologi. Ini menjadi tugas sekolah untuk memberikan pendampingan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
Pentingnya Peran Sekolah dalam Edukasi Penerimaan Siswa
Esti juga menekankan perlunya sosialisasi yang aktif dari pihak sekolah kepada orangtua, terutama bagi yang anaknya akan naik ke jenjang pendidikan berikutnya. Kepala sekolah diharapkan mampu memahami sistem secara menyeluruh agar bisa menjelaskan prosedur dengan jelas.
“Sekolah perlu mendampingi orangtua yang merasa kesulitan, baik dalam akses informasi maupun teknis,” ungkapnya. Ini penting agar para orangtua tidak kebingungan saat harus mendaftar sekolah untuk anak mereka.
Kasus-kasus dugaan pungli dan manipulasi data serta masalah infrastruktur teknologi mencoreng proses SPMB 2025-2026. Desakan untuk melakukan reformasi total dalam sistem penerimaan siswa terus berkembang di masyarakat.
DPR RI menegaskan pentingnya penegakan hukum yang tegas dan peningkatan transparansi bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Ini adalah langkah mendesak untuk memastikan hak pendidikan setiap anak terjaga dengan baik dan adil.